Karya sastra terdiri atas dua jenis sastra (genre), yaitu prosa dan puisi. Biasanya prosa disebut sebagai karangan bebas, sedangkan puisi disebut karangan terikat. Prosa itu karangan bebas berarti bahwa prosa tidak terikat oleh aturan-aturan ketat. Puisi itu karangan terikat berarti puisi itu terikat oleh aturan-aturan ketat. Akan tetapi, pada waktu sekarang, para penyair berusaha melepaskan diri dari aturan yang ketat itu. Dengan demikian, terjadilah kemudian apa yang disebut dengan sajak bebas. Akan tetapi, sungguhkah sajak itu bebas. Sajak tetap tidak bebas, tetapi yang mengikat adalah hakikatnya sendiri, bukan aturan yang ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya. Aturan di luar diri puisi itu ditentukan oleh penyair yang membuat dahulu ataupun oleh masyarakat. Hal ini tampak pada puisi lama yang harus mengikuti aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, yaitu aturan bait, baris, jumlah kata, dan pola sajak, terutama sajak akhir.
#SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, sebelum membahas pengertian puisi lebih lanjut, lebih dahulu kita bahas peristilahan puisi.
Dalam bahasa Indonesia (Melayu) dahulu hanya dikenal satu istilah sajak yang berarti poezie ataupun gedicht. Poezie (puisi) adalah jenis sastra (genre) yang berpasangan dengan istilah prosa. Gedicht adalah individu karya sastra, dalam bahasa Indonesia sajak, misalnya sajak Aku. Jadi, dalam bahasa Indonesia hanya ada istilah sajak, baik untuk poezie maupun untuk gedicht.
Dalam bahasa Inggris ada istilah poetry sebagai istilah jenis sastra: puisi, dan poem sebagai individunya. Oleh karena itu, istilah puisi itu sebaiknya dipergunakan sebagai jenis sastra: poetry, sedangkan sajak untuk individu puisi: poem. Dengan demikian, penggunaan istilah puisi dan sajak tidak dikacaukan. Misalnya, antologi puisi, puisi Chairil Anwar untuk menunjuk jenis sastranya, sedangkan untuk individu sajak Aku, sajak Pahlawan Tak Dikenal.
Telah dikemukakan di depan bahwa puisi selalu berkembang dari periode ke periode.Oleh karena itu, pengertian mengenai puisi pun turut berubah.
Sebagai contoh, kita lihat jajaran sajak dari puisi lama dan pusi baru: Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, dan periode 1970 1990.
Kakanda, Wai,/apa bicara kita,
Sakit perut/rasanya beta,
Berdebar lenyap/di dalam cita.
Masygul baginda/tiada terkira,
Hilanglah budi/lenyap bicara,
Berkata dengan/perlahan suara,
Kalau tuan/hendak berputera.
(Ali sjahbana, 1996: 49)
Bukan beta/bijak berperi,
pandai menggubah/madahan syair;
Bukan beta/budak negeri,
musti menurut/undangan mair.
Sarat saraf/saya mungkiri;
Untaian rangkaian/seloka lama,
beta buang/beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
(Effendi, 1953: 28)
Dalam kedua sajak itu tampak adanya keteraturan yang simetris, bait-bait, baris-barisnya, bagian barisnya (periodus), dan ada pola sajak akhir (/: garis miring dari penulis untuk penjelas).
Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! tercebar rasanya diri
Membumbung tinggi atas kini
Sejenak
saja. Halus rapuh ini jalinan benang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakkan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
19 April 1943
(Chairil Anwar, dalam jassin, 1978: 55)
Kau membiarkan perempuan dan lelaki meletakkan lekuk tubuh mereka meletakkan gerak menggeliat bagai perut ikan dalam air dari gairah tawa sepi mereka dan bungkalan tempat kehadiran menggerakkan hadir dan hidup dan lobang yang menangkap dan lepas rasia kehidupan kan tegak menegakkan lekuk bungkalan lobang dalam gerak yang tegak diam dank au mengentak aku kedalam lekuk bungkalan lubangmu mencari kau
(Bachri, 1981: 41)
Sajak Telur
dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai merindukan telur
(Damono, 1983: 29)
Dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri dan sapardi Djoko Damono di atas itu, pembaca disuruh mencari satuan-satuan arti sendiri. Tiap baris tidak mempunyai periodus yang pasti, kata-kata hanya bersambung saja. Tidak ada pola sajak akhir atau sajak yang lain. Tidak tampak adanya aturan apa pun.
Dari contoh-contoh di atas #SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, tampak adanya perbedaan yang sangat besar antara puisi lama dan Pujangga Baru dengan sajak Angkatan 45 dan periode 1970 1990. Itulah sebabnya, ada perbedaan pengertian puisi di antara puisi lama dengan puisi baru.
Puisi itu selalu berkembang dari waktu ke waktu karena evolusi selera dan perubahan konsep keindahan (Riffaterre, 1978: 1).
Kalau Anda perhatikan contoh syair dan sajak Rustam Effendi, penyair Pujangga Baru, tampaklah bahwa kedua sajak itu sesuai dengan pengertian atau definisi yang dikemukakan Wirjosoedarmo. Coba, perhatikan contoh sajak penyair Pujangga Baru berikut ya #SahabatBlogDuniaAnakIndonesia.
Gembala
Perasaan siapa/tidakkan nyala
Melihat anak/berlagu dendang
Seorang sahaja/di tengah padang
Tiada berbaju/buka kepala Beginilah nasib/anak gembala
Berteduh di bawah/ kayu nan rindang,
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah/ di senja-kala.
(Yamin, dalam Jassin, 1987: 323)
Garis miring (/) dari penulis untuk memperjelas. Sajak M. Yamin itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Wirjosoedarmo. Sajak itu terikat oleh jumlah periodus, yaitu ada dua periodus tiap baris. Periodus adalah bagian pembentuk baris sajak. Satu periodus terdiri atas dua kata. Pada umumnya, baris terdiri atas empat kata. Tiap-tiap baris tampak adanya jumlah suku kata yang sama atau hampir sama, antara 9 10 suku kata. Dalam sajak itu tampak adanya pola sajak akhir yang tetap, yaitu a-b-b-a tiap baitnya. Dengan adanya susunan teratur, jumlah kata dan suku kata tetap dan pola sajak tetap maka tampak adanya irama yang tetap atau ajeg. Tampak dalam sajak contoh itu bahwa ikatan formal; bentuk yang dapat dilihat mata.
Bentuk-bentuk formal itu adalah alat-alat atau sarana-sarana kepuitisan untuk mendapatkan nilai estetis atau nilai seni dengan bentuk formal yang ajeg atau tetap dan simetris (Seimbang).
Akan tetapi, ikatan bentuk tetap itu tidak tampak dalam sajak Chairil Anwar, lebih-lebih dalam sajak Sutardji dan Damono. Jadi, ada perbedaan pengertian mengenai puisi menurut pandangan lama dan menurut pandangan baru. Hal ini tampak dalam wujud sajaknya seperti dalam contoh-contoh itu. Slametmuljana (1956: 112) mengutip definisi A.W. de Groot mengenai puisi, diantaranya sebagai berikut. Di dalam sajak itu ada korespondensi dari corak tertentu, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh sajak dari awal sampai akhir.
Maksud dari korespondensi (Slamet muljana, 1956: 113) adalah segala ulangan susunan baris sajak yang tampak di baris lain dengan tujuan menambah kebagusan sajak. Kebanyakan tiap baris sajak terdiri atas bagian-bagian yang susunannya serupa. Bagian itu disebut periodus, jadi kumpulan jumlah periodus itu merupakan bagian sajak. Dengan kata lain, periodus itu adalah pembentuk baris sajak menurut sistem. Adapun periodisitas adalah sistem susunan bagian baris sajak atau sistem periodus. Untuk menjelaskan korespondensi dan periodisitas, mari perhatikan kutipan sajak berikut. Sebagai pemisah periodus digunakan garis miring (/).
Dibawa Gelombang
Alun membawa/bidukku perlahan
Dalam kesunyian/malam waktu,
Tidak berpawang,/tidak berkawan,
Entah ke mana/aku tak tahu.
Jauh di atas/bintang kemilau,
Seperti sudah/berabad-abad.
Dengan damai/mereka meninjau
Kehidupan bumi,/yang kecil amat.
ku bernyanyi/dengan suara
Seperti bisikan/angin didaun;
Suaraku hilang/dalam udara,
Dalam laut/yang beralun-alun.
Alun membawa/bidukku perlahan
Dalam kesunyian/malam waktu,
Tidak berpawang,/tidak berkawan,
Entah ke mana/aku tak tahu.
(Sanusi Pane, dalam Jassin, 1987: 250)
Dalam sajak ini tampak bait-bait yang jumlah barisnya sama dan susunannya sama. Jadi, tiap bait itu berkorespondensi dari bait pertama ke bait keempat. Korespondensi itu berupa ulangan bait, ulangan susunan baris-baris yang selalu sama, dengan tujuan untuk menambah kebagusan sajak. Kebagusan dalam sajak itu berupa susunan yang simetris atau seimbang hingga menimbulkan irama yang teratur (ajeg).
Susunan baris sajak itu menurut sistem, yaitu tiap baris sajak terdiri atas dua bagian yang simetris. Tiap bagian pembentuk baris sajak itu terdiri atas dua kata; Alun membawa/bidukku perlahan. Bagian pembentuk baris menurut sistem tertentu itulah yang disebut periodus. Tiap baris terdiri atas dua periodus. Sistem baris terdiri atas dua periodus itu berlangsung dari awal sajak (baris pertama bait pertama): Alun membawa/bidukku perlahan, sampai baris terakhir: Entah ke mana/aku tak tahu. Sistem periodus itulah yang disebut periodisitas. Jadi, periodisitasnya: tiap baris terdiri atas dua periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata, dari awal baris ke akhir baris tidak berubah (sama).
Hal seperti itu, korespondensi dan periodisitas berlaku bagi sajak lama dan puisi Pujangga Baru. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku lagi bagi puisi sesudah Pujangga Baru pada umumnya meskipun masih ada juga sajak yang menyerupai puisi Pujangga Baru. Kalau Anda lihat contoh sajak Chairil Anwar, Sutardji, dan Damono tidak ada korespondensi dan periodisitas mulai dari awal sampai akhir. Jadi, puisi modern mempunyai pengertian sendiri, yang berbeda dengan puisi lama.
#SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, Hal ini disebabkan oleh pemahaman bahwa bentuk-bentuk formal itu hanya merupakan sarana-sarana kepuitisan saja, bukan hakikat puisi. Penyair dapat menulis dan mengombinasikan sarana-sarana kepuitisan yang disukainya. Sarana kepuisian dipilih dengan tujuan untuk dapat mengekspresikan pengalaman jiwanya. Para penyair Angkatan 45 memilih sarana kepuitisan yang berupa diksi atau pilihan kata secara tepat, pilihan kata yang dapat memberikan makna seintensitas mungkin, yang dapat me-rontgen ke putih tulang belulang, kata Chairil Anwar (Jassin, 1978: 136). Sarana kepuitisan yang berupa sajak akhir masih dipergunakan juga demi intensitas arti atau maknanya. Akan tetapi, sajak akhir itu harus berupa pola bunyi yang teratur dan tetap. Contohnya, seperti sajak Asrul Sani berikut.
Anak Laut
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari dan bermimpi tengah hari
Akan negeri jauhan
Pasir dan air seakan
Bercampur. Awan
Tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut biru.
“Sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan daku.”
“Tenggelam matahari
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan aku kembali kepadanya.”
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan.
(Jassin, 1969: 87)
Coba #SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, lihat adakah korespondensi dan periodisitas dari awal ke akhir sajak Asrul Sani itu ? Tunjukkan kalau ada.
Sajak itu mempergunakan sarana kepuitisan berupa sajak akhir, tetapi tidak berdasar pola yang tetap, tampak dalam bait pertama, kedua, dan ketiga. Sajak akhir itu terjadi secara spontan, tidak direkayasa, seperti tampak dalam bait ketiga.
Sajak Sapardi Djoko Damono di bawah ini sama sekali tidak menunjukkan sajak (puisi) menurut pengertian puisi lama. Sengaja ditulisnya seperti prosa.
Air Selokan
“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit”, katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung-ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
* Senja ini ketika dua orang anak sedang bergerak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu – alangkah indahnya!” Tetapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali,
(Damono, 1983: 18)
Sajak Air Selokan itu dapat disimpulkan gagasan pokoknya atau temanya sebagai berikut. Rumah sakit malah menyebar penyakit ke tengah masyarakat dengan membuang limbah ke selokan. Hal itu sudah berjalan lama sekali. Paling sedikit sejak engkau lahir sampai beristri dan istrinya mengandung. Nah, ini pastilah ironi, yaitu menyindir secara tidak langsung dengan mengemukakan kontradiksi: Rumah sakit, tetapi menyebar penyakit! Jadi, teranglah bahwa pengertian puisi menurut pandangan puisi modern itu berdasarkan hakikatnya, bukan berdasarkan bentuk formalnya. Puisi modern memang terikat juga, tetapi terikat oleh hakikatnya sendiri.
Dapat dikatakan, sampai sekarang, belum ada rumusan pengertian puisi menurut pandangan puisi modern yang berdasarkan hakikat puisi itu. Akan tetapi, berdasarkan contoh-contoh itu dapat disimpulkan bahwa puisi itu adalah ucapan atau ekspresitidak langsung. Di samping itu juga, puisi itu ucapan ke inti pasti masalah, peristiwa ataupun narasi (cerita, penceritaan). Baiklah mengenai hakikat puisi ini #SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, baca saja pada pembahasan artikel lainnya di blogduniaanakindonesia.blogspot.com! ***
#SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, sebelum membahas pengertian puisi lebih lanjut, lebih dahulu kita bahas peristilahan puisi.
PERISTILAHAN
Dalam kesusastraan Indonesia ada 2 istilah, yaitu sajak dan puisi. Kedua istilah itu sering dicampuradukkan penggunaannya. Misalnya sajak Chairil Anwar disebut juga puisi Chairil Anwar; sajak Aku disebut juga puisi Aku. Mengapa demikian ya #SahabatBlogDuniaAnakIndonesia? Hal ini disebabkan oleh masuknya istilah puisi dari bahasa asing ke dalam sastra Indonesia. Istilah ini berasal dari bahasa Belanda poezie. Dalam bahasa belanda ada istilah lain gedicht yang berarti sajak, tetapi istilah gedicht tidak diambil ke dalam bahasa Indonesia.Dalam bahasa Indonesia (Melayu) dahulu hanya dikenal satu istilah sajak yang berarti poezie ataupun gedicht. Poezie (puisi) adalah jenis sastra (genre) yang berpasangan dengan istilah prosa. Gedicht adalah individu karya sastra, dalam bahasa Indonesia sajak, misalnya sajak Aku. Jadi, dalam bahasa Indonesia hanya ada istilah sajak, baik untuk poezie maupun untuk gedicht.
Dalam bahasa Inggris ada istilah poetry sebagai istilah jenis sastra: puisi, dan poem sebagai individunya. Oleh karena itu, istilah puisi itu sebaiknya dipergunakan sebagai jenis sastra: poetry, sedangkan sajak untuk individu puisi: poem. Dengan demikian, penggunaan istilah puisi dan sajak tidak dikacaukan. Misalnya, antologi puisi, puisi Chairil Anwar untuk menunjuk jenis sastranya, sedangkan untuk individu sajak Aku, sajak Pahlawan Tak Dikenal.
Telah dikemukakan di depan bahwa puisi selalu berkembang dari periode ke periode.Oleh karena itu, pengertian mengenai puisi pun turut berubah.
Sebagai contoh, kita lihat jajaran sajak dari puisi lama dan pusi baru: Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, dan periode 1970 1990.
Contoh syair
Puteri menangis/seraya berkata,Kakanda, Wai,/apa bicara kita,
Sakit perut/rasanya beta,
Berdebar lenyap/di dalam cita.
Masygul baginda/tiada terkira,
Hilanglah budi/lenyap bicara,
Berkata dengan/perlahan suara,
Kalau tuan/hendak berputera.
(Ali sjahbana, 1996: 49)
Contoh sajak Pujangga Baru
Bukan Beta Bijak BerperiBukan beta/bijak berperi,
pandai menggubah/madahan syair;
Bukan beta/budak negeri,
musti menurut/undangan mair.
Sarat saraf/saya mungkiri;
Untaian rangkaian/seloka lama,
beta buang/beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
(Effendi, 1953: 28)
Dalam kedua sajak itu tampak adanya keteraturan yang simetris, bait-bait, baris-barisnya, bagian barisnya (periodus), dan ada pola sajak akhir (/: garis miring dari penulis untuk penjelas).
Contoh sajak Angkatan 45
KenanganKadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! tercebar rasanya diri
Membumbung tinggi atas kini
Sejenak
saja. Halus rapuh ini jalinan benang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakkan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
19 April 1943
(Chairil Anwar, dalam jassin, 1978: 55)
Contoh sajak periode 1970-1990
SculptureKau membiarkan perempuan dan lelaki meletakkan lekuk tubuh mereka meletakkan gerak menggeliat bagai perut ikan dalam air dari gairah tawa sepi mereka dan bungkalan tempat kehadiran menggerakkan hadir dan hidup dan lobang yang menangkap dan lepas rasia kehidupan kan tegak menegakkan lekuk bungkalan lobang dalam gerak yang tegak diam dank au mengentak aku kedalam lekuk bungkalan lubangmu mencari kau
(Bachri, 1981: 41)
Sajak Telur
dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai merindukan telur
(Damono, 1983: 29)
Dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri dan sapardi Djoko Damono di atas itu, pembaca disuruh mencari satuan-satuan arti sendiri. Tiap baris tidak mempunyai periodus yang pasti, kata-kata hanya bersambung saja. Tidak ada pola sajak akhir atau sajak yang lain. Tidak tampak adanya aturan apa pun.
Dari contoh-contoh di atas #SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, tampak adanya perbedaan yang sangat besar antara puisi lama dan Pujangga Baru dengan sajak Angkatan 45 dan periode 1970 1990. Itulah sebabnya, ada perbedaan pengertian puisi di antara puisi lama dengan puisi baru.
Puisi itu selalu berkembang dari waktu ke waktu karena evolusi selera dan perubahan konsep keindahan (Riffaterre, 1978: 1).
1. Puisi menurut Pengertian Lama
Dalam buku pelajaran kesusastraan untuk SMU, masih tampak adanya pengertian puisi menurut pandangan lama, salah satunya dalam buku Wirjosoedarmo (1984: 51) sebagai berikut. Puisi itu karangan yang terikat, terikat oleh (a) banyak baris dalam tiap bait (kuplet/strofa, suku karangan); (b) banyak kata dalam tiap baris; (c) banyak suku kata dalam tiap baris; (d) rima; dan (e) irama.Kalau Anda perhatikan contoh syair dan sajak Rustam Effendi, penyair Pujangga Baru, tampaklah bahwa kedua sajak itu sesuai dengan pengertian atau definisi yang dikemukakan Wirjosoedarmo. Coba, perhatikan contoh sajak penyair Pujangga Baru berikut ya #SahabatBlogDuniaAnakIndonesia.
Gembala
Perasaan siapa/tidakkan nyala
Melihat anak/berlagu dendang
Seorang sahaja/di tengah padang
Tiada berbaju/buka kepala Beginilah nasib/anak gembala
Berteduh di bawah/ kayu nan rindang,
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah/ di senja-kala.
(Yamin, dalam Jassin, 1987: 323)
Garis miring (/) dari penulis untuk memperjelas. Sajak M. Yamin itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Wirjosoedarmo. Sajak itu terikat oleh jumlah periodus, yaitu ada dua periodus tiap baris. Periodus adalah bagian pembentuk baris sajak. Satu periodus terdiri atas dua kata. Pada umumnya, baris terdiri atas empat kata. Tiap-tiap baris tampak adanya jumlah suku kata yang sama atau hampir sama, antara 9 10 suku kata. Dalam sajak itu tampak adanya pola sajak akhir yang tetap, yaitu a-b-b-a tiap baitnya. Dengan adanya susunan teratur, jumlah kata dan suku kata tetap dan pola sajak tetap maka tampak adanya irama yang tetap atau ajeg. Tampak dalam sajak contoh itu bahwa ikatan formal; bentuk yang dapat dilihat mata.
Bentuk-bentuk formal itu adalah alat-alat atau sarana-sarana kepuitisan untuk mendapatkan nilai estetis atau nilai seni dengan bentuk formal yang ajeg atau tetap dan simetris (Seimbang).
Akan tetapi, ikatan bentuk tetap itu tidak tampak dalam sajak Chairil Anwar, lebih-lebih dalam sajak Sutardji dan Damono. Jadi, ada perbedaan pengertian mengenai puisi menurut pandangan lama dan menurut pandangan baru. Hal ini tampak dalam wujud sajaknya seperti dalam contoh-contoh itu. Slametmuljana (1956: 112) mengutip definisi A.W. de Groot mengenai puisi, diantaranya sebagai berikut. Di dalam sajak itu ada korespondensi dari corak tertentu, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh sajak dari awal sampai akhir.
Maksud dari korespondensi (Slamet muljana, 1956: 113) adalah segala ulangan susunan baris sajak yang tampak di baris lain dengan tujuan menambah kebagusan sajak. Kebanyakan tiap baris sajak terdiri atas bagian-bagian yang susunannya serupa. Bagian itu disebut periodus, jadi kumpulan jumlah periodus itu merupakan bagian sajak. Dengan kata lain, periodus itu adalah pembentuk baris sajak menurut sistem. Adapun periodisitas adalah sistem susunan bagian baris sajak atau sistem periodus. Untuk menjelaskan korespondensi dan periodisitas, mari perhatikan kutipan sajak berikut. Sebagai pemisah periodus digunakan garis miring (/).
Dibawa Gelombang
Alun membawa/bidukku perlahan
Dalam kesunyian/malam waktu,
Tidak berpawang,/tidak berkawan,
Entah ke mana/aku tak tahu.
Jauh di atas/bintang kemilau,
Seperti sudah/berabad-abad.
Dengan damai/mereka meninjau
Kehidupan bumi,/yang kecil amat.
ku bernyanyi/dengan suara
Seperti bisikan/angin didaun;
Suaraku hilang/dalam udara,
Dalam laut/yang beralun-alun.
Alun membawa/bidukku perlahan
Dalam kesunyian/malam waktu,
Tidak berpawang,/tidak berkawan,
Entah ke mana/aku tak tahu.
(Sanusi Pane, dalam Jassin, 1987: 250)
Dalam sajak ini tampak bait-bait yang jumlah barisnya sama dan susunannya sama. Jadi, tiap bait itu berkorespondensi dari bait pertama ke bait keempat. Korespondensi itu berupa ulangan bait, ulangan susunan baris-baris yang selalu sama, dengan tujuan untuk menambah kebagusan sajak. Kebagusan dalam sajak itu berupa susunan yang simetris atau seimbang hingga menimbulkan irama yang teratur (ajeg).
Susunan baris sajak itu menurut sistem, yaitu tiap baris sajak terdiri atas dua bagian yang simetris. Tiap bagian pembentuk baris sajak itu terdiri atas dua kata; Alun membawa/bidukku perlahan. Bagian pembentuk baris menurut sistem tertentu itulah yang disebut periodus. Tiap baris terdiri atas dua periodus. Sistem baris terdiri atas dua periodus itu berlangsung dari awal sajak (baris pertama bait pertama): Alun membawa/bidukku perlahan, sampai baris terakhir: Entah ke mana/aku tak tahu. Sistem periodus itulah yang disebut periodisitas. Jadi, periodisitasnya: tiap baris terdiri atas dua periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata, dari awal baris ke akhir baris tidak berubah (sama).
Hal seperti itu, korespondensi dan periodisitas berlaku bagi sajak lama dan puisi Pujangga Baru. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku lagi bagi puisi sesudah Pujangga Baru pada umumnya meskipun masih ada juga sajak yang menyerupai puisi Pujangga Baru. Kalau Anda lihat contoh sajak Chairil Anwar, Sutardji, dan Damono tidak ada korespondensi dan periodisitas mulai dari awal sampai akhir. Jadi, puisi modern mempunyai pengertian sendiri, yang berbeda dengan puisi lama.
2. Puisi menurut Pengertian Baru
Para penyair baru (modern) menulis puisi tanpa mempedulikan ikatan-ikatan formal seperti puisi lama. Akan tetapi, mengapa tulisannya atau hasil karyanya masih disebut sebagai puisi?#SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, Hal ini disebabkan oleh pemahaman bahwa bentuk-bentuk formal itu hanya merupakan sarana-sarana kepuitisan saja, bukan hakikat puisi. Penyair dapat menulis dan mengombinasikan sarana-sarana kepuitisan yang disukainya. Sarana kepuisian dipilih dengan tujuan untuk dapat mengekspresikan pengalaman jiwanya. Para penyair Angkatan 45 memilih sarana kepuitisan yang berupa diksi atau pilihan kata secara tepat, pilihan kata yang dapat memberikan makna seintensitas mungkin, yang dapat me-rontgen ke putih tulang belulang, kata Chairil Anwar (Jassin, 1978: 136). Sarana kepuitisan yang berupa sajak akhir masih dipergunakan juga demi intensitas arti atau maknanya. Akan tetapi, sajak akhir itu harus berupa pola bunyi yang teratur dan tetap. Contohnya, seperti sajak Asrul Sani berikut.
Anak Laut
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari dan bermimpi tengah hari
Akan negeri jauhan
Pasir dan air seakan
Bercampur. Awan
Tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut biru.
“Sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan daku.”
“Tenggelam matahari
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan aku kembali kepadanya.”
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan.
(Jassin, 1969: 87)
Coba #SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, lihat adakah korespondensi dan periodisitas dari awal ke akhir sajak Asrul Sani itu ? Tunjukkan kalau ada.
Sajak itu mempergunakan sarana kepuitisan berupa sajak akhir, tetapi tidak berdasar pola yang tetap, tampak dalam bait pertama, kedua, dan ketiga. Sajak akhir itu terjadi secara spontan, tidak direkayasa, seperti tampak dalam bait ketiga.
Sajak Sapardi Djoko Damono di bawah ini sama sekali tidak menunjukkan sajak (puisi) menurut pengertian puisi lama. Sengaja ditulisnya seperti prosa.
Air Selokan
“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit”, katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung-ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
* Senja ini ketika dua orang anak sedang bergerak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu – alangkah indahnya!” Tetapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali,
(Damono, 1983: 18)
Sajak Air Selokan itu dapat disimpulkan gagasan pokoknya atau temanya sebagai berikut. Rumah sakit malah menyebar penyakit ke tengah masyarakat dengan membuang limbah ke selokan. Hal itu sudah berjalan lama sekali. Paling sedikit sejak engkau lahir sampai beristri dan istrinya mengandung. Nah, ini pastilah ironi, yaitu menyindir secara tidak langsung dengan mengemukakan kontradiksi: Rumah sakit, tetapi menyebar penyakit! Jadi, teranglah bahwa pengertian puisi menurut pandangan puisi modern itu berdasarkan hakikatnya, bukan berdasarkan bentuk formalnya. Puisi modern memang terikat juga, tetapi terikat oleh hakikatnya sendiri.
Dapat dikatakan, sampai sekarang, belum ada rumusan pengertian puisi menurut pandangan puisi modern yang berdasarkan hakikat puisi itu. Akan tetapi, berdasarkan contoh-contoh itu dapat disimpulkan bahwa puisi itu adalah ucapan atau ekspresitidak langsung. Di samping itu juga, puisi itu ucapan ke inti pasti masalah, peristiwa ataupun narasi (cerita, penceritaan). Baiklah mengenai hakikat puisi ini #SahabatBlogDuniaAnakIndonesia, baca saja pada pembahasan artikel lainnya di blogduniaanakindonesia.blogspot.com! ***
Post a Comment for "Pengertian Puisi"