HUT ke-77 PGRI, Sejarah Hari Guru Nasional

HUT ke-77 PGRI, Sejarah Hari Guru Nasional

JAKARTA, INDONESIA - Hari ini, Jumat (25/11) merupakan Hari Guru Nasional (HGN) juga pengabdian ke-77 tahun PGRI. Peringatan HGN juga pengabdian ke-77 tahun PGRI ini mengambil tema "Guru Bangkit, Pulihkan Pendidikan: Indonesia Kuat, Indonesia Maju". Sejarah Peringatan HGN mengambil momentum Semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, pada tanggal 25 November 1945 –seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia– Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan melalui Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Selanjutnya melalui Keputusan Presiden No. 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.


Sejarah Organisasi perjuangan guru-guru seIndonesia sebenarnya telah dimulai pada tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua.


Tidak mudah bagi PGHB memperjuangkan nasib para anggotanya yang memiliki pangkat, status sosial dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Sejalan dengan keadaan itu maka di samping PGHB berkembang pula organisasi guru baru antara lain Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan Normaalschool (PNS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB), disamping organisasi guru yang bercorak keagamaan, kebangsaan atau lainnya seperti Christelijke Onderwijs Vereneging (COV), Katolieke Onderwijsbond (KOB), Vereneging Van Muloleerkrachten (VVM), dan Nederlands Indische Onderwijs Genootschap (NIOG) yang beranggotakan semua guru tanpa membedakan golongan agama.


Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh, mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat oleh orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kemerdekaan. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka”.


Pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.


Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.


Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres ini segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah –guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan guru yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 –seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia– Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.


Dengan semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tengah bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan :
  1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
  2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
  3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.



Sejak Kongres Guru Indonesia itu, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).


Jiwa pengabdian, tekad perjuangan, dan semangat persatuan dan kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rona dan dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, dan independen.


Untuk itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.


Setelah melewati rentang waktu 77 tahun, menjelang akhir tahun 2022, terus berjuang untuk dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kualitas guru, hal ini terlihat bagimana PGRI memberi beberapa catatan khusus kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) soal Tunjangan Profesi Guru terkait Undang-undang Sisdiknas.


Soal-soal yang dimaksud mencakup Penghapusan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kemudian digabung dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional. Dalam catatan PGRI menyatakan bahwa Penghapusan guru sebagai sebuah profesi, menihilkan pengabdian serta kerja keras guru yang selama ini dengan tulus ikhlas bertugas diseluruh pelosok negeri untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.


Catatan lainnya Seiring dengan penghapusan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tunjangan profesi guru juga bakal dihapuskan. Penghapusan tunjangan profesi guru adalah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merendahkan. Menurut PGRI, Tunjangan profesi bukan sekedar persoalan uang, tetapi sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru. Guru merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara. Menyangkut tunjangan profesi, memang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Sisdiknas Pasal 145 Ayat (1) dinyatakan, “Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen SEBELUM UNDANG-UNDANG INI DIUNDANGKAN, tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”. Dalam perjuangan dan pandangan Persatuan Guru Republik Indonesia atau disingkat PGRI, frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan”, artinya tunjangan profesi guru akan hilang, jika RUU Sisdiknas ini diundangkan.


Lebih lanjut PGRI mnyatakan dalam perjuangannya, Jika Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan tetap memberikan tunjangan profesi guru (TPG), maka frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan” HARUS DIHAPUS. Penghapusan ini sekaligus agar substansi RUU Sisdiknas tidak bias dan multi tafsir serta ada jaminan guru tetap menerima tunjangan profesi. Lebih dari itu, Harapan PGRI dalam perjuangan meningkatkan kesejahteraan guru meminta Kemendikbudristek perlu menjelaskan secara secara jujur dan terbuka, mengapa muncul pemikiran untuk menghapus tunjangan profesi guru

Itulah artikel yang dapat dibagikan Blogduniaanakindonesia.blogspot.com. semoga bermanfaat.


#gurubangkitpulihkanpendidikan #pgrimengabdinegeri #pgrimemuliakanguru #hutpgri77 #hgn2022

Post a Comment for "HUT ke-77 PGRI, Sejarah Hari Guru Nasional"