5 CARA MENANAMKAN NILAI-NILAI AGAMA ISLAM SEJAK USIA DINI

Nilai agama Islam adalah nilai akhlak perseorangan, keluarga, sosial, negara dan agama. Nilai juga diartikan dengan suatu perangkat keyakinan atau pun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan maupun perilaku. blogduniaanakindonesia.blogspot.com, Penanaman Nilai-nilai Agama Islam memiliki 3 variabel yang berbeda pengistilahan antara satu dengan yang lainnya. Pertama, Penanaman menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (1998 : 690) berasal dari kata ”tanam” yang artinya menaruh, menaburkan (paham, ajaran dan sebagainya), memasukkan, membangkitkan atau memelihara (perasaan, cinta kasih, semangat dan sebagainya). Sedangkan penanaman itu sendiri berarti proses/caranya, perbuatan menanam (kan). Kedua, Nilai Menurut H. Una dalam Chabib Thoha (1996 : 60) Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Yang ketiga, Agama Islam menurut Ajat Sudrajat, dkk (2008 : 34) adalah agama yang diwahyukan Allah kepada para Rasul-Nya dan terakhir disempurnakan pada Rasul Muhammad SAW, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengarahkan bagaimana manusia berhubungan dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan/kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.


Anak usia dini menurut National Assosiation in Education for Young Children (NAEYC) adalah anak yang berada pada rentang usia lahir sampai usia 8 tahun (Wikipedia, 2007). Sujiono dalam Dewi Salma dan Eveline Siregar (2004: 351) menjelaskan bahwa anak usia dini adalah sekelompok anak yang berusia 0-8 tahun yang memiliki berbagai potensi genetik dan siap untuk ditumbuh kembangkan melalui pemberian berbagai rangsangan.


Dari penjelasan pengertian menanamkan dan mendidik nilai-nilai agama Islam pada Anak usia dini di artikel blogduniaanakindonesia.blogspot.com, berikut adalah beberapa tips konsep untuk cara pendidikannya berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah (hadits):

https://blogduniaanakindonesia.blogspot.com/

5 CARA

kasih sayang dan nasehat

Pendidikan yang pertama diberikan adalah dengan menanamkan kasih sayang dan nasehat. Kasih sayang mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak, antara lain: dapat meningkatkan kerja otak, menimbulkan semangat, adanya kedekatan psikis anatara orang tua dan anak, membuat anak lebih terbuka dan percaya diri. Jika orang tua atau pendidik ingin menyuruh anak melakukan kewajibannya maka gunakan kalimat positif dengan intonasi lembut. Jangan sampai memarahi atau membentak anak dengan suara keras. Pendidikan dengan kasih sayang dan nasehat akan menjadikan seorang anak lembut dan santun dalam berbicara dan bersikap di kemudian hari.


Pendidikan dengan kasih sayang dan nasehat ini terdapat dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 11, 17, dan 18. Pada ayat 11 menjelaskan bagaimana Luqman berlaku lemah lembut dalam menasehati anaknya dengan menggunakan kata “Wahai anakku…”. Begitupun dengan ayat 17 dan 18, Luqman mendidik anaknya dengan penuh bijaksana, tanpa kekerasan, dan tanpa kesan horor yang menakutkan. Pendidikan dengan kasih sayang dan nasehat ini pun sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim :
Dari Umar bin Abu Salamah r.a. berkata : ‘ketika masih kecil, aku pernah berada dibawah pengawasan Rasulullah SAW, dan tangtanku bergerak mengulur ke arah makanan yang ada dalam piring. Maka Rasulullah SAW berkata kepadaku, ‘Wahai anak, sebutkanlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu



bersikap apatis

Menanamkan pendidikan berikutnya dapat dilakukan dengan bersikap apatis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), apatis adalah bersikap acuh tidak acuh, tidak peduli, dan masa bodoh, Pendidikan seperti ini lebih dikhususkan kepada anak yang berada pada fase awal usia sekolah dasar. Pada usia ini, anak belajar untuk menemukan identitas dirinya. Orang dan benda disekelilingnya tentu ikut membangun karakter pada dirinya. Semangat untuk mencontoh dan meniru gerak-gerik, gaya bahasa maupun bahasa tubuh orang lain terkadang menjadi hal yang sering dilakukan untuk menemukan dan mengenal siapa dirinya.


Dalam proses identifikasi inilah, seorang anak perlu mendapatkan bimbingan tentang apa yang dia perbuat dan apa yang dia katakan. Jika dalam perkembangannya, anak terlihat menyimpang maka sebagai pendidik dan orang tua sewajarnya untuk menegur. Jika teguran yang diberikan tidak diindahkan dan anak mengulangi kembali perbuatannya maka sewajarnya diberlakukan sikap apatis pada anak tersebut.


Hal ini sesuai dengan kisah berikut:


Dalam sebuah riwayat dikatakan: Kerabat Ibnu Mughaffal yang belum baligh bermain lempar batu. Kemudian ia melarang dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang bermain lempar batu dan beliau bersabda, ‘Sesungguhnya lempar batu tidak akan dapat memburu buruan....’Kemudian anak itu kembali bermain. Maka ia berkata, ‘Aku memberitahumu bahwa Rasulullah SAW telah melarangnya, namun engkau terus bermain lempar batu? Maka aku tidak akan mengajakmu bebicara selamanya!”


Sikap apatis ini tentu tidak selamanya, artinya ada batasan waktu sampai anak tersebut tidak mengulangi perbuatan buruknya lagi. Sikap apatis juga tidak diperkenankan untuk hal-hal yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.


Memukul dengan tanpa melukai

Penanaman selanjutnya dalam bentuk pemukulan dengan tanpa melukai. Pemukulan pun dilakukan bukan pada area anggota tubuh yang dapat merusak fungsi tubuh dan sistem syaraf. Pendidikan dengan pemukulan ini diperkenankan jika cara-cara sebelumnya tidak menimbulkan efek jera bagi si anak.


Pendidikan seperti ini hanya boleh dilakukan bagi anak yang akan memasuki usia akil balig, dimana dia sudah mampu untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Adapun ranah pendidikan yang ditekankan disini adalah yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dirinya sebagai seorang muslim dan kewajiban dirinya sebagai seorang individu.


Untuk proses pendidikan yang satu ini tentu menuai pro dan kontra terutama dari kalangan masyarakat Indonesia khususnya pemerhati pendidikan, tetapi inilah cara yang diajarkan Islam melalui Rasulullah SAW sebagaimana dituangkan dalam hadits berikut ini:
Abu Dawud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syua’aib dai bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan sholat apabila mereka telah berusia tujuh tahun, dan apabila mereka telah berusia 10 tahun, maka pukulnya mereka (apabila tetap tidak mau melaksanakan sholat) dan pisahkan tempat tidur mereka.”



Menginjak remaja tentu banyak problematika yang akan dihadapi anak yang mungkin akan berdampak pada sikap dan perkataan mereka yang kurang baik. Jika seorang anak dalam perkembangannya menunjukkan perilaku menyimpang yang berhubungan dengan masalah kewajibannya kepada Allah, maka sewajarnya pendidik dan orang tua memberikan sanksi yang tegas. Adriano Rusfi, Psi dalam bukunya Smart Parenting (2019) menjelaskan bahwa menghadapi realita kehidupan anak remaja maka diperlukan pendidikan yang berani dan tegas. Orang tua dan pendidik harus mampu menghadirkan si “Raja Tega” dalam menerapkan aturan agama. Hal ini dimaksudkan agar tertanam penguatan karakter pada diri anak tersebut


Dalam usia akil baligh banyak remaja yang mulai mencari komunitas untuk mengakui keberadaan dirinya. Mereka berteman dengan siapa pun tanpa memandang batasan budaya dan agama. Begitu besarnya dampak dari pergaulan ini terutama dalam masalah iman, maka Islam mengajarkan untuk saling berteman dengan orang-orang muslim yang mencintai karena Allah. Mereka adalah orang–orang yang senantiasa menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mencintai Sunnah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW menjelaskan dalam haditsnya sebagai berikut:


Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas R.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda “Aspek iman yang terkuat adalah saling berteman di jalan Allah, saling bermusuhan di jalan Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”.


Untuk mewujudkan hal tersebut maka orang tua atau pendidik harus dapat mengarahkan anaknya untuk berteman dengan orang-orang baik dan sholeh agar dapat melakukan aktivitas pergaulan yang baik pula.


Baikot Anak

Lalu bagaimana dengan anak yang sudah diperingatkan untuk melaksanakan kewajibannya kepada Allah sementara ia masih enggan mengerjakannya?, maka cara mendidiknya yaitu dengan pemboikotan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pemboikotan adalah bersekongkol untuk menolak melakukan kerjasama baik dala berbicara, keikut sertaan, dan sebagainya. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya yang berjudul Tarbiyatul Aulad fil Islam (2015) menambahkan pemboikotan yang dilakukan orang tua terhadap anak yang melakukan penyimpangan sampai kepada pembatasan ruang gerak dan pemenuhan kebutuhannya. Cara mendidik seperti ini pernah dilakukan Rasulullah terhadap sahabat yang enggan untuk melakukan Perang Tabuk, sedangkan perang tersebut adalah salah satu kewajiban yang harus dilakukan umat Islam saat itu. Dalam hal ini, Rasulullah menyatakan sikap kepada sahabat tersebut melalui hadits berikut ini.


AlBukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan orang-orang yang tidak ikut Perang Tabuk selama 50 hari/malam. Sampai akhirnya Allah menurunkan wahyu (Al-Qur’an) tentang penerimaan taubat mereka.



Tahapan pendidikan pemboikotan dilakukan apabila anak bersikap menyimpang, namun masih berada dalam iman dan Islam.


Mengasingkan

Lalu bagaimana dengan sikap anak yang secara terang-terangan menentang guru dan orang tuanya, bahkan ia sampai murtad atau keluar dari agama Islam?, maka mengasingkan atau mengusirnya adalah termasuk salah satu tuntunan iman yang paling utama. Firman Allah dalam Surat Al-Mujadalah ayat 22 menyebutkan :


Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.



Berdasarkan dalil di atas jelas bahwa jika didapati seorang anak yang menentang Allah dan Rasul-Nya maka dapat dibenarkan jika orang tua mengasingkan atau mengusir anaknya yang menentang tersebut dari rumahnya. Jika seorang anak telah menentang Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada satupun yang dapat menyelamatkannya, tidak pula dengan guru dan orang tuanya.


Dalam Surat Hud ayat 45 dan 46 Allah berfirman yang artinya:


“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim seadil-adilnya.’ Allah berfrman, ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukan keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepadaKu sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”


Berdasarkan dalil-dalil diatas, jelas bahwa pendidikan anak dalam Islam sangat tegas serta mempunyai tahapan-tahapan yang disesuaikan dengan tingkatan usia dan kenakalan yang dilakukan oleh anak. Sebagai pendidik atau orang tua sewajarnyalah memakai metode pendidikan anak dalam Islam ini sebagai sebuah referensi dalam membangun sebuah karakter yang dapat menghasilkan akhlakul karimah pada kepribadian anak-anak kita.


PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK DALAM ISLAM BERDASARKAN AL-QUR’AN

Kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentuk-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya, keluarga pada masa kecil, dan jugaan bawaan seseorang sejak lahir. Dapat juga dirumuskan bahwa kepribadian adalah bentuk dinamis dari sistem psikis dan psikofisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik (khas) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungnya.


Islam sendiri memandang kepribadian terdiri dari tiga unsur yaitu, unsur jasmani, unsur rohani dan unsur nafsani. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani merupakam aspek biologis manusia, dengan kata lain, ia terdiri dari unsur organisme manusia. Unsur ruhani adalah unsur dari psikis manusia dalam kehidupan, ia adalah penggerak bagi jasad manusi. Dan nafsani adalah sistem psikofisik dari (jasadi-ruhani) manusia, aspek nasfsiyah memiliki potensi bawaan yang ada pada psikofisik manusia yang dibawa semenjak lahir dan yang menjadi pendorong serta penentu bagi tingkah laku manusia. Al-qur’an memandang manusia sebagai mahluk ciptaan Allah SWT, yang memiliki keunikan tertentu. Manusia diciptaka dengan bentuk sebaik baiknya, serta dilengkapi dengan organ psikofisik yang istimewa seperti kekuatan fisik, nafas, akal, hati dan ruh.


Menurut Toy Buzan, secara garis besar seorang anak mengalami tiga tahap perkembangan penting, yaitu kemampuan motorik, pekembangan fisik dan perkembangan mental. Perkembangan psikologis pribadi manusia dimulai sejak masa bayi hingga masa dewasa. Menurut Jean Jacques Rousseau perkembangan fungsi dan kapasitas kejiwaan manusia berlangsung dalam 5 tahap, sebagai berikut:
  1. Perkembangan masa bayi (sejak lahir – 2 tahun )
  2. Perkembangan masa kanak-kanak (2 – 12 tahun)
  3. Perkembangan masa pre adolesen (12 – 15 tahun )
  4. Perkembangan masa adolesen (15 – 20 tahun)
  5. Masa pematangan diri (setelah umur 20 tahun)



Pembentukan Kepribadian dalam menanamkan nilai-nilai Agama menurut Al-Qur'an Surat Luqman

  1. Bersykur kepada Allah SWT. Allah memerintahkan agar luqman memberikan contoh pada anaknya untuk selalu bersyukur seperti yang telah di jelaskan pada surat Luqman ayat 12 yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (Q.S. Luqman :12)
  2. Aspek Ketauhidan dan Aqidah. Pokok pikiran yang sangat fundamental diajarkan pada anaknya adalah mengenai masalah ketauhidan dan aqidah yang meupakan pokok keimanan seseorang hamba Allah. Aqidah merupakan keyakinan untuk hanya mengabdi kepada Allah atau ajaran yang mengesakan Allah. Hal ini dapat didilihat dalam surat luqman ayat 13 yang artinya: “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pembelajaran kepafanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S.Luqman: 13)
  3. Aspek Ibadah. Ibadah yang secara awam diartikan sebagai sembahan, pengabdian, sebenarnya adalah istilah paling luas dan mencakup tidak hanya penyembahan, tetapi juga berhubungan juga dengan tingkah laku manusian meliputi kehidupan. Yang paling beradab, dari segi pandang spiritual, adalah mereka yang mematuhi dengan sangat rapat kemauan Tuhan, didalam perbuatan-perbuataan mereka. Islam memandang untuk manusia suatu tata tertib untuk kehidupannya sebagai suatu keseluruhan, baik material maupun spiritual. Allah SWT berfirman yang artinya: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (Q.S Luqman : 17).
  4. Aspek Akhlaq. Dalam pengertian sehari-hari akhlak umumnya disamakan artinya dengan budi pekerti, kesusilaan, sopan santun dalam bahasa Indonesia, dan tidak berbeda. Secara kebahasaan akhlak bisa baik dan juga bisa buruk, tergantung tata nilai yang dijadikan landasan atau tolok ukurnya. Di Indonesia, kata akhlak selalu berkonotasi positif. Orang yang baik sering disebut orang yang berakhlak, sementara orang yang tidak berlaku baik disebut orang yang tidak berakhlak. Adapun secara istilah, akhlak adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di muka bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam, dengan alQur'an dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode berfikir Islami. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola- pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dirinya sendiri), dan dengan alam. Pembentukan kepribadian pada anak dalam aspek akhlak ini dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Luqman Ayat 14 yang artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”



KESIMPULAN

1. Nilai agama Islam adalah nilai akhlak perseorangan, keluarga, sosial, negara dan agama. Nilai juga diartikan dengan suatu perangkat keyakinan atau pun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan maupun perilaku.


2. Anak usia dini menurut National Assosiation in Education for Young Children (NAEYC) adalah anak yang berada pada rentang usia lahir sampai usia 8 tahun (Wikipedia, 2007). Sujiono dalam Dewi Salma dan Eveline Siregar (2004: 351) menjelaskan bahwa anak usia dini adalah sekelompok anak yang berusia 0-8 tahun yang memiliki berbagai potensi genetik dan siap untuk ditumbuh kembangkan melalui pemberian berbagai rangsangan.


3. Islam sendiri memandang kepribadian terdiri dari tiga unsur yaitu, unsur jasmani, unsur rohani dan unsur nafsani.


4. Kasih sayang mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak, antara lain: dapat meningkatkan kerja otak, menimbulkan semangat, adanya kedekatan psikis anatara orang tua dan anak, membuat anak lebih terbuka dan percaya diri. Jika orang tua atau pendidik ingin menyuruh anak melakukan kewajibannya maka gunakan kalimat positif dengan intonasi lembut. Jangan sampai memarahi atau membentak anak dengan suara keras. Pendidikan dengan kasih sayang dan nasehat akan menjadikan seorang anak lembut dan santun dalam berbicara dan bersikap di kemudian hari.


5. Penanaman Nilai-nilai Agama Islam memiliki 3 variabel yang berbeda pengistilahan antara satu dengan yang lainnya. Pertama, Penanaman menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (1998 : 690) berasal dari kata ”tanam” yang artinya menaruh, menaburkan (paham, ajaran dan sebagainya), memasukkan, membangkitkan atau memelihara (perasaan, cinta kasih, semangat dan sebagainya). Sedangkan penanaman itu sendiri berarti proses/caranya, perbuatan menanam (kan). Kedua, Nilai Menurut H. Una dalam Chabib Thoha (1996 : 60) Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Yang ketiga, Agama Islam menurut Ajat Sudrajat, dkk (2008 : 34) adalah agama yang diwahyukan Allah kepada para Rasul-Nya dan terakhir disempurnakan pada Rasul Muhammad SAW, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengarahkan bagaimana manusia berhubungan dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan/kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Demikianlah artikel yang dapat dibagikan blogduniaanakindonesia.blogspot.com, semoga bermanfaat!

Post a Comment for "5 CARA MENANAMKAN NILAI-NILAI AGAMA ISLAM SEJAK USIA DINI"